feedburner

Lorem ipsum dolor sit amet,
consectetur adipisicing elit,
sed do eiusmod tempor incididunt ut labore
et dolore magna aliqua.

FANATISME YANG MEMATIKAN

Label:

Musik adalah dunia yang mempunyai ruh sendiri,Musik mampu merubah peradaban sosial manusia. Namun jika atas nama trend,manusia meniagakan musik, maka hanya akan menjadikan seni dalam musik kian merucut melahirkan tema – tema budaya yang plagiat.

Originalitas dalam berkarya memang klise, mengingat dalam musik akan selalu terjadi overlapping. Dimana para komposer berusaha untuk menyembunyikan plagiatisme mereka dari lagu yang menjadi acuan inspirasi mereka.

Kini kita berada pada abad dimana musik menjadi konsumsi layaknya oksigen. Tiada satu manusia pun yang tidak bersinggungan dengan musik. Apalagi hal ini ditunjang dengan semakin majunya tehnologi. Kita dengan mudah sekali memperbanyak lagu,menyimpan dan berbagi dari gadget kita kepada siapa saja,dimana saja dan kapan saja.seolah kemajuan tehnologi ini adalah sebuah back-up untuk para kriminalitas mempermudah membajak karya orang lain.

Dari konsumsi layaknya oksigen inilah bisa kita lihat betapa manusia bisa saja terbius oleh hentakan atau mendayu – dayunya sebuah musik. Manusia bisa saja terhipnotis oleh lirik – lirik yang mencemarkan,mendukung,inspiratif dan terkadang ada kalanya memuakkan. Melalui musiklah, kita seolah – olah diberi sebuah ruang dan tercancang dalam kursi empuk imaji kita sendiri. Saya berharap masih hangat dalam ingatan anda sebuah konser underground di Bandung yang memakan jatuh korban. Hal ini membuktikan bahwa demi menghadiri musik atau group band kebanggaan, manusia rela berdesak – desakan berebut oksigen terinjak – injak dan mati. Hal ini tidak terjadi hanya sekali saja.dahulu pada era kejayaan Sheila on 7 terjadi hal yang sama bahkan berlanjut pada band – band generasi berikutnya seperti Peter Pan,Ungu,dll. Sungguh sebuah kenyataan yang tragis....!!!!

Meskipun kenyataan yang kita dapati tidak seharmoni prinsip musik,ternyata malah ada yang memandang fanatisme yang memakan korban ini adalah sebuah peluang untuk mendapatkan kepentingannya. Mungkin anda berpikiran sama dengan saya..... ya benar !! partai politiklah salah satunya yang saat ini sangat memanfaatkan fanatisme musik.

Mungkin sudah menjadi sunnah politik dalam partai untuk mengagendakan atau menghadirkan musik, group band atau pelaku seni dalam perhelatan masa kampanyenya. Bahkan pemimpin tertinggi negri inipun tidak lepas dari urusan musik. Dahulu pernah sebelum menjadi presiden, beliau ini sering membawakan lagu dari jamrud yang kalau saya tidak salah beberapa liricnya seperti ini “30 menit kita disini, tanpa suara.....dst”. dan kini selain sebagai Presiden, SBY pun adalah seorang politikus juga. Ketika SBY membuat sebuah album musik di tengah terpuruknya ekonomi bangsa ini, apakah itu untuk memperlebar fanatisme ataukah sebuah titik jenuh beliau sebagai Presiden ?

Memang tidak bersalah jika memanfaatkan budaya fanatisme musik yang memang sudah ada dari dulu. Karena ini adalah simbiosis yang saling menguntungkan. Jika manusia ramai – ramai berduyun – duyun mendatangi partai yang berkampanye karena hadirnya artis ngetop pujaan mereka, maka keuntungan yang setimpal pun akan didapatkan oleh si artis.

Hal ini sah – sah saja,namun yang menjadi kekhawatiran saya adalah jika para politikus dan partainya berkampanye menggunakan musik, akankah musik mengkaburkan tujuan, visi, misi partai tersebut ? jujur saja 40% dari peserta kampanye datang ke stadion, lapangan, tempat tertutup ataupun terbuka jika pada kampanye tersebut terdapat hiburan paling tidak musik.terlebih jika artis yang hadir adalah artis ngetop kelas nasional. Bahkan yang membuat kita semakin tercengang, 60% waktu kampanye adalah hiburan, lazimnya satu kali orasi, tiga kali hiburan. Maka jangan heran jika sekarang banyak partai yang mendaulat artis sebagai icon dalam partai. Hal ini tentu tidak menjadi masalah selama artis tersebut memang berkompeten dalam dunia politik dan pemahaman rakyat.tapi yang membuat hati saya risih adalah partai paham sekali fanatisme yang memakan korban ini dan malah menjadikannya landasan untuk menggaet artis asal – asalan demi meraih simpati massa.jika memang hal ini yang terjadi, maka saya tidak kaget jika korban memang benar – benar berjatuhan.

Kita harus selalu mengingat masa lalu, apa yang pernah terjadi. Karena kita hanya bisa belajar pada apa yang pernah terjadi dan kita tidak mungkin belajar pada apa yang belum terjadi. Untuk urusan membangun negara, seharusnya semua partai menggandeng pelaku seni ( jika memang harus dengan artis ) yang benar – benar mempunyai kemampuan dan bukan artis yang hanya sekedar isyarat untuk mendongkrak popularitas partai.

Meski begitu, saya sangat mendukung kerja sama antara dunia seni dan dunia partai. Sungguh kedua – duanya bisa berjalan beriringan. Karena dunia seni dan dunia politik sama – sama mempunyai fanatisme yang mematikan yang sama – sama bisa menjatuhkan korban. Dan jika anda adalah pelaku sejarah yang dalam bidang seni dan politik adalah termasuk golongan pasif, maka sangat saya sarankan kepada anda untuk tidak menjadi fanatis kepada kelompok tertentu. Karena tidak ada yang salah ataupun benar dalam dunia seni dan politik. Keduanya adalah Grey area.

0 komentar:

Posting Komentar